Prasarana Layanan Masyarakat Antara "Kewajiban dan Bantuan” yang Menyulitkan

Kepala Madrasah MTsN 2 Aceh Selatan, Muslizar, S.Pd

Ketika berbicara tentang prasarana layanan masyarakat—seperti sekolah, puskesmas, balai desa, dan fasilitas publik lainnya—sebenarnya kita sedang membicarakan hak dasar rakyat dan kewajiban negara. Namun sayangnya, dalam praktik, masih sering terdengar istilah “bantuan pemerintah” seolah pembangunan fasilitas itu adalah kemurahan hati, bukan tanggung jawab.

Padahal, sekolah yang layak dan memenuhi standar bukanlah kemewahan, melainkan keharusan. Pendidikan adalah urat nadi kemajuan bangsa. Bangunan sekolah yang kokoh, lingkungan yang aman, ruang belajar yang layak, serta fasilitas pendukung yang memadai adalah bagian dari pelayanan publik yang bermartabat. Ketika sebuah sekolah harus mengajukan proposal panjang, memenuhi berbagai syarat rumit, dan menunggu waktu yang tak pasti untuk mendapatkan perbaikan atau bangunan baru—maka sesungguhnya sistem itu sedang mempertanyakan keadilan.

Mengapa harus diusulkan?

Mengapa harus melewati jalur berliku, dengan syarat administratif yang bahkan sulit dipenuhi oleh sekolah di daerah terpencil?

Apakah negara hanya hadir untuk mereka yang mampu memenuhi syarat, sementara yang paling membutuhkan justru tertinggal?

Jika sebuah madrasah atau sekolah negeri rusak, atap bocor, dinding retak, dan murid belajar di ruang darurat—itu bukan masalah usulan bantuan, tapi tanda bahwa pemerintah belum menunaikan kewajiban dasarnya. Bantuan adalah istilah yang pantas untuk sesuatu yang bersifat sukarela. Tapi untuk layanan publik, ini soal tanggung jawab dan keadilan.

Berkeadilan berarti melihat kebutuhan, bukan kedekatan. Menilai kondisi, bukan koneksi. Tidak seharusnya lokasi sekolah, siapa kepala sekolahnya, atau seberapa kuat jaringan politiknya menjadi penentu nasib fasilitas pendidikan. Keadilan menuntut pandangan yang menyeluruh dan empatik: di mana pun anak bangsa belajar, di situlah negara wajib hadir dengan mutu yang sama.

Sudah saatnya paradigma ini diubah.

Bukan lagi “siapa yang dapat bantuan”, tapi “siapa yang paling berhak mendapatkan pelayanan.”

Karena negara yang adil bukan diukur dari seberapa banyak proposal yang disetujui, tetapi dari seberapa merata kehadirannya di setiap sudut negeri. 

Oleh. Muslizar, S.Pd


Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin